Minggu, 26 Agustus 2012

Cerita Dewasa: Sensasi Selingkuh

Saya, sebut saja Ratna (23), seorang sarjana ekonomi. Usai tamat kuliah, saya bekerja pada salah satu perusahaan jasa keuangan di Solo. Sebagai wanita, terus terang, saya juga tidak bisa dikatakan tidak menarik. Kulit tubuh saya putih bersih, tinggi 163 cm dan berat 49 kg. Sementara ukuran bra 34B. Cukup bahenol, kata rekan pria di kantor. Sementara, suami saya juga ganteng. Rio namanya. Umurnya tiga tahun diatas saya atau 26 tahun. Bergelar insinyur, ia berkerja pada perusahaan jasa konstruksi. Rio orangnya pengertian dan sabar. Karena sama-sama bekerja, otomatis pertemuan kami lebih banyak setelah sepulang atau sebelum berangkat kerja. Meski begitu, hari-hari kami lalui dengan baik-baik saja. Setiap akhir pekan--bila tidak ada kerja di luar kota--seringkali kami habiskan dengan makan malam di salah satu resto ternama di kota ini. Dan tidak jarang pula, kami menghabiskannya pada sebuah villa di Tawangmangu. Soal hubungan kami, terutama yang berkaitan dengan 'malam-malam di ranjang' juga tidak ada masalah yang berarti. Memang tidak setiap malam. Paling tidak dua kali sepekan, Rio menunaikan tugasnya sebagai suami. Hanya saja, karena suami saya itu sering pulang tengah malam, tentu saja ia tampak capek bila sudah berada di rumah. Bila sudah begitu, saya juga tidak mau terlalu rewel. Juga soal ranjang itu. Bila Rio sudah berkata, "Kita tidur ya," maka saya pun menganggukkan kepala meski saat itu mata saya masih belum mengantuk. Akibatnya, tergolek disamping tubuh suami--yang tidak terlalu kekar itu-dengan mata yang masih nyalang itu, saya sering-entah mengapa-menghayal. Menghayalkan banyak hal. Tentang jabatan di kantor, tentang anak, tentang hari esok dan juga tentang ranjang. Bila sudah sampai tentang ranjang itu, seringkali pula saya membayangkan saya bergumulan habis-habisan di tempat tidur. Seperti cerita Ani atau Indah di kantor, yang setiap pagi selalu punya cerita menarik tentang apa yang mereka perbuat dengan suami mereka pada malamnya. Tapi sesungguhnya itu hanyalah khayalan menjelang tidur yang menurut saya wajar-wajar saja. Dan saya juga tidak punya pikiran lebih dari itu. Dan mungkin pikiran seperti itu akan terus berjalan bila saja saya tidak bertemu dengan Karyo. Pria itu sehari-hari bekerja sebagai polisi dengan pangkat Briptu. Usianya mungkin sudah 50 tahun. Gemuk, perut buncit dan hitam. Begini ceritanya saya bertemu dengan pria itu. Suatu malam sepulang makan malam di salah satu resto favorit kami, entah mengapa, mobil yang disopiri suami saya menabrak sebuah sepeda motor. Untung tidak terlalu parah betul. Pria yang membawa sepeda motor itu hanya mengalami lecet di siku tangannya. Namun, pria itu marah-marah. "Anda tidak lihat jalan atau bagaimana. Masak menabrak motor saya. Mana surat-surat mobil Anda? Saya ini polisi!" bentak pria berkulit hitam itu pada suami saya. Mungkin karena merasa bersalah atau takut dengan gertakan pria yang mengaku sebagai polisi itu, suami saya segera menyerahkan surat kendaraan dan SIM-nya. Kemudian dicapai kesepakatan, suami saya akan memperbaiki semua kerusakan motor itu esok harinya. Sementara motor itu dititipkan pada sebuah bengkel. Pria itu sepertinya masih marah. Ketika Rio menawari untuk mengantar ke rumahnya, ia menolak. "Tidak usah. Saya pakai becak saja," katanya. Esoknya, Rio sengaja pulang kerja cepat. Setelah menjemput saya di kantor, kami pun pergi ke rumah pria gemuk itu. Rumah pria yang kemudian kami ketahui bernama Karyo itu, berada pada sebuah gang kecil yang tidak memungkinkan mobil Opel Blazer suami saya masuk. Terpaksalah kami berjalan dan menitipkan mobil di pinggir jalan.
Rumah kontrakan Pak Karyo hanyalah rumah papan. Kecil. Di ruang tamu, kursinya sudah banyak terkelupas, sementara kertas dan koran berserakan di lantai yang tidak pakai karpet. "Ya beginilah rumah saya. Saya sendiri tinggal di sini. Jadi, tidak ada yang membersihkan," kata Karyo yang hanya pakai singlet dan kain sarung. Setelah berbasa basi dan minta maaf, Rio mengatakan kalau sepedamotor Pak Karyo sudah diserahkan anak buahnya ke salah satu bengkel besar. Dan akan siap dalam dua atau tiga hari mendatang. Sepanjang Rio bercerita, Pak Karyo tampak cuek saja. Ia menaikkan satu kaki ke atas kursi. Sesekali ia menyeruput secangkir kopi yang ada di atas meja. "Oh begitu ya. Tidak masalah," katanya. Saya tahu, beberapa kali ia melirikkan matanya ke saya yang duduk di sebelah kiri. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Memandang Pak Karyo, saya bergidik juga. Badannya besar meski ia juga tidak terlalu tinggi. Lengan tangannya tampak kokoh berisi. Sementara dadanya yang hitam membusung. Dari balik kaosnya yang sudah kusam itu tampak dadanya yang berbulu. Jari tangannya seperti besi yang bengkok-bengkok, kasar. Karyo kemudian bercerita kalau ia sudah puluhan tahun bertugas dan tiga tahun lagi akan pensiun. Sudah hampir tujuh tahun bercerai dengan istrinya. Dua orang anaknya sudah berumah tangga, sedangkan yang bungsu sekolah di Bandung. Ia tidak bercerita mengapa pisah dengan istrinya. Pertemuan kedua, di kantor polisi. Setelah beberapa hari sebelumnya saya habis ditodong saat berhenti di sebuah perempatan lampu merah, saya diminta datang ke kantor polisi. Saya kemudian diberi tahu anggota polisi kalau penodong saya itu sudah tertangkap, tetapi barang-barang berharga dan HP saya sudah tidak ada lagi. Sudah dijual si penodong. Saat mau pulang, saya hampir bertabrakan dengan Pak Karyo di koridor kantor Polsek itu. Tiba-tiba saja ada orang di depan saya. Saya pun kaget dan berusaha mengelak. Karena buru-buru saya menginjak pinggiran jalan beton dan terpeleset. Pria yang kemudian saya ketahui Pak Karyo itu segera menyambar lengan saya. Akibatnya, tubuh saya yang hampir jatuh, menjadi terpuruk dalam pagutan Pak Karyo. Saya merasa berada dalam dekapan tubuh yang kuat dan besar. Dada saya terasa lengket dengan dadanya. Sesaat saya merasakan getaran itu. Tapi tak lama. "Makanya, jalannya itu hati-hati. Bisa-bisa jatuh masuk got itu," katanya seraya melepaskan saya dari pelukannya. Saya hanya bisa tersenyum masam sambil bilang terimakasih. Ketika Pak Karyo kemudian menawari minum di kantin, saya pun tidak punya alasan untuk menolaknya. Sambil minum ia banyak bercerita. Tentang motornya yang sudah baik, tentang istri yang minta cerai, tentang dirinya yang disebut orang-orang suka menanggu istri orang. Saya hanya diam mendengarkan ceritanya. Mungkin karena seringkali diam bila bertemu dan ia pun makin punya keberanian, Pak Karyo itu kemudian malah sering datang ke rumah. Datang hanya untuk bercerita. Atau menanyai soal rumah kami yang tidak punya penjaga. Atau tentang hal lain yang semua itu, saya rasakan, hanya sekesar untuk bisa bertemu dengan berdekatan dengan saya. Tapi semua itu setahu suami saya lho. Bahkan, tidak jarang pula Rio terlibat permainan catur yang mengasyikkan dengan Pak Karyo bila ia datang pas ada Rio di rumah. Ketika suatu kali, suami saya ke Jakarta karena ada urusan pekerjaan, Pak Karyo malah menawarkan diri untuk menjaga rumah. Rio, yang paling tidak selama sepakan di Jakarta, tentu saja gembira dengan tawaran itu. Dan saya pun merasa tidak punya alasan untuk menolak. Meski sedikit kasar, tapi Pak Karyo itu suka sekali bercerita dan juga nanya-nanya. Dan karena kemudian sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri, saya pun tidak pula sungkan untuk berceritanya dengannya. Apalagi, keluarga saya tidak ada yang berada di Solo. Sekali waktu, saya keceplosan. Saya ceritakan soal desakan ibu mertua agar saya segera punya anak. Dan ini mendapat perhatian besar Pak Karyo. Ia antusias sekali. Matanya tampak berkilau. "Oh ya. Ah, kalau yang itu mungkin saya bisa bantu," katanya. Ia makin mendekat. "Bagaimana caranya?" tanya saya bingung. "Mudah-mudahan saya bisa bantu. Datanglah ke rumah. Saya beri obat dan sedikit diurut," kata Pak Karyo pula. Dengan pikiran lurus, setelah sebelumnya saya memberitahu Rio, saya pun pergi ke rumah Pak Karyo. Sore hari saya datang. Saat saya datang, ia juga masih pakai kain sarung dan singlet. Saya lihat matanya berkilat. Pak Karyo kemudian mengatakan bahwa pengobatan yang didapatkannya melalui kakeknya, dilakukan dengan pemijatan di bagian perut. Paling tidak tujuh kali pemijatan, katanya. Setelah itu baru diberi obat. Saya hanya diam. "Sekarang saja kita mulai pengobatannya," ujarnya seraya membawa saya masuk kamarnya. Kamarnya kecil dan pengap. Jendela kecil di samping ranjang tidak terbuka. Sementara ranjang kayu hanya beralaskan kasur yang sudah menipis. Pak Karyo kemudian memberikan kain sarung. Ia menyuruh saya untuk membuka kulot biru tua yang saya pakai. Risih juga membuka pakaian di depan pria tua itu. "Gantilah," katanya ketika melihat saya masih bengong. Inilah pertama kali saya ganti pakaian di dekat pria yang bukan suami saya. Di atas ranjang kayu itu saya disuruh berbaring. "Maaf ya," katanya ketika tangannya mulai menekan perut saya. Terasa sekali jari-jari tangan yang kasar dan keras itu di perut saya. Ia menyibak bagian bawah baju. Jari tangannya menari-nari di seputar perut saya. Sesekali jari tangannya menyentuh pinggir lipatan paha saya. Saya melihat gerakannya dengan nafas tertahan. Saya berasa bersalah dengan Rio. "Ini dilepas saja," katanya sambil menarik CD saya. Oops! Saya kaget. "Ya, mengganggu kalau tidak dilepas," katanya pula. Tanpa menunggu persetujuan saya, Par Karyo menggeser bagian atasnya. Saya merasakan bulu-bulu vagina saya tersentuh tangannya. CD saya pun merosot. Meski ingin menolak, tapi suara saya tidak keluar. Tangan saya pun terasa berat untuk menahan tangannya. Tanpa bicara, Pak Karyo kembali melanjutkan pijatannya. Jari tangan yang kasar kembali bergerilya di bagian perut. Kedua paha saya yang masih rapat dipisahkannya. Tangannya kemudian memijati pinggiran daerah sensitif saya. Tangan itu bolak balik di sana. Sesekali tangan kasar itu menyentuh daerah klitoris saya. Saya rasa ada getaran yang menghentak-hentak. Dari mulut saya yang tertutup, terdengar hembusan nafas yang berat, Pak Karyo makin bersemangat. "Ada yang tidak beres di bagian peranakan kamu," katanya. Satu tangannya berada di perut, sementara yang lainnya mengusap gundukan yang ditumbuhi sedikit bulu. Tangannya berputar-putar di selangkang saya itu. Saya merasakan ada kenikmatan di sana. Saya merasakan bibir vagina saya pun sudah basah. Kepala saya miring ke kiri dan ke kanan menahan gejolak yang tidak tertahankan. Tangan kanan Pak Karyo makin berani. Jari-jari mulai memasuki pinggir liang vagina saya. Ia mengocok-ngocok. Kaki saya menerjang menahan gairah yang melanda. Tangan saya yang mencoba menahan tangannya malah dibawanya untuk meremas payudara saya. Meski tidak membuka BH, namun remasan tangannya mampu membuat panyudara saya mengeras. Uh, saya tidak tahu kalau kain sarung yang saya pakai sudah merosot hingga ujung kaki. CD juga sudah tanggal. Yang saya tahu hanyalah lidah Pak Karyo sudah menjilati selangkang saya yang sudah membanjir. Terdengar suara kecipak becek yang diselingi nafas memburu Pak Karyo. Ini permainan yang baru yang pertama kali saya rasaran. Rio, suami saya, bahkan tidak pernah menyentuh daerah pribadiku dengan mulutnya. Tapi, jilatan Pak Karyo benar-benar membuat dada saya turun naik. Kaki saya yang menerjang kemudian digumulnya dengan kuat, lalu dibawanya ke atas. Sementara kepalanya masih terbenam di selangkangan saya. Benar-benar sensasi yang sangat mengasyikan. Dan saya pun tidak sadar kalau kemudian, tubuh saya mengeras, mengejang, lalu ada yang panas mengalir di vagina saya. Aduh, saya orgasme! Tubuh saya melemas, tulang-tulang ini terasa terlepas. Saya lihat Pak Karyo menjilati rembesan yang mengalir dari vagina. Lalu ditelannya. Bibirnya belepotan air kenikmatan itu. Singletnya pun basah oleh keringat. Saya memejamkan mata, sambil meredakan nafas. Sungguh, permainan yang belum pernah saya alami. Pak Karyo naik ke atas ranjang. "Kita lanjutkan," katanya. Saya disuruhnya telungkup. Tangannya kembali merabai punggung saya. Mulai dari pundah. Lalu terus ke bagian pinggang. Dan ketika tangan itu berada di atas pantat saya, Pak Karyo mulai melenguh. Jari tangannya turun naik di antara anus dan vagina. Berjalan dengan lambat. Ketika pas di lubang anus, jarinya berhenti dengan sedikit menekan. Wow, sangat mengasyikan. Tulang-tulang terasa mengejang. Terus terang, saya menikmatinya dengan mata terpejam. Bila kemudian, terasa benda bulat hangat yang menusuk-nusuk di antara lipatan pantat, saya hanya bisa melenguh. Itu yang saya tunggu-tunggu. Saya rasakan benda itu sangat keras. Benar. Saat saya berbalik, saya lihat kontol Pak Karyo itu. Besar dan hitam. Tampak jelas urat-uratnya. Bulunya pun menghitam lebat. Mulut saya sampai ternganga ketika ujung kontol Pak Karyo mulai menyentuh bibir vagina saya. Perlahan ujungnya masuk. Terasa sempit di vagina saya. Pak Karyo pun menekan dengan perlahan. Ia mengoyangnya. Bibir vagina saya seperti ikut bergoyang keluar masuk mengikuti goyangan kontol Pak Karyo. Hampir sepuluh menit Pak Karyo asik dengan goyangannya. Saya pun meladeni dengan goyangan. Tubuh kami yang sudah sama-sama telanjang, basah dengan keringat. Kuat juga stamina Pak Karyo. Belum tampak tanda-tanda itunya akan 'menembak'. Padahal, saya sudah kembali merasakan ujung vagina saya memanas. Tubuh saya mengejang. Dengan sedikit sentakan, maka muncratlah. Berkali-kali. Orgasme yang kedua ini benar-benar terasa memabukkan. Liang vagina saya makin membanjir. Tubuh saya kehilangan tenaga. Saya terkapar. Saya hanya bisa diam saja ketika Pak Karyo masih menggoyang. Beberapa saat kemudian, baru itu sampai pada puncaknya. Ia menghentak dengan kuat. Kakinya menegang. Dengan makin menekan, ia pun memuntahkan seluruh spermanya di dalam vagina saya. Saya tidak kuasa menolaknya. Tubuh besar hitam itu pun ambruk diatas tubuh saya. Luar biasa permainan polisi yang hampir pensiun itu. Apalagi dibandingkan dengan permainan Rio. Sejak saat itu, saya pun ketagihan dengan permainan Pak Karyo. Kami masih sering melakukannya. Kalau tidak di rumahnya, kami juga nginap di Tawangmangu. Meski, kemudian Pak Karyo juga sering minta duit, saya tidak merasa membeli kepuasan syahwat kepadanya. Semua itu saya lakukan, tanpa setahu Rio. Dan saya yakin Rio juga tidak tahu samasekali. Saya merasa berdosa padanya. Tapi, entah mengapa, saya juga butuh belaian keras Pak Karyo itu. Entah sampai kapan.

Kisah Nyata: Selingkuh

Suamiku tertidur di sebelahku, aku mengamati dan memandangnya… Ya Allah aku telah banyak menyakitinya, menghianatinya tanpa pernah dia tahu… Ya Allah betapa aku merasa diriku hina sekali dihadapannya. Aku tidak pantas memperlakukannya seperti ini… Pembaca.. kisahku ini dimulai ketika aku diterima menjadi seorang karyawati di sebuah perusahaan swasta di sebuah kota di Kalimantan. Belum lama aku bekerja di perusahaan tersebut tepatnya baru 5 bulan, bosku memperkenalkan aku dengan sahabatnya. Sahabat bosku ganteng, kaya, dewasa, pekerjaannya pun mapan, jika dibandingkan dengan pacarku atau lebih tepatnya bisa dibilang suamiku karena kita diam-diam sudah menikah sirih, tetapi perusahaan tidak pernah tahu kalau aku sudah menikah karena masa dinas yang tidak memperbolehkan karyawan menikah sebelum satu tahun bekerja. Suamiku hanya seorang admin di sebuah perusahaan asuransi dan masih menyelesaikan kuliahnya, jika dibandingkan dengan sahabat bosku yang sudah mapan, kaya, dan ganteng itu sungguh sangat jauh berbeda. Awalnya aku menolak menerima cinta sahabat bosku tersebut, dengan menangis-nangis dia memohon agar aku mau menerima cintanya. Tapi memang awalnya aku belum tertarik padanya, aku merasa tahu diri bahwa aku sudah bersuami dan aku sangat mencintai suamiku itu, dengan membayangkan masa-masa dulu bahagia dengan cinta yang kami bina. Tetapi dengan penuh cinta, sahabat bosku tersebut berusaha terus mendekatiku. Dia menelpon, sms, menghubungiku melalui Facebook, dan dengan cara-cara lainnya. Meskipun dia jauh di Jakarta, tetapi tidak memupuskan semangatnya untuk mengejarku. Tanpa disadari aku mulai kehilangan dia ketika dia sehari saja tak menghubungiku, aku merindukannya ketika sejam saja dia terlambat menanyakan aku apa sudah makan siang atau belum, aku merasa nyaman dengan kedewasaanya, kasih sayangnya, dan semua perlakuannya kepadaku. Pada suatu hari kami bersepakat untuk bertemu, dia bela-belain ke Kalimantan hanya untuk menemuiku. Dia utarakan niatnya untuk memperistriku tapi karena aku juga mulai mencintainya akupun berniat memilihnya untuk menjadi suamiku yang sebenarnya. Aku berniat untuk meminta cerai talak kepada suamiku yang sekarang. Tapi karena aku tahu bahwa aku sudah tidak perawan karena aku sudah menikah sirih dengan suamiku yang sekarang. Kuceritakan kondisi diriku yang sebenarnya kepada sahabat bosku tersebut. Dia menangis seolah tidak terima bahwa seseorang yang sangat dicintainya dan dipilih untuk menjadi istrinya tidak sesuai dengan kriteria dirinya dan keluarganya. Dia bilang kalau dia pribadi bisa menerima aku apa adanya karena dia sangat mencintaiku, tapi untuk memperkenalkan aku kepada keluarganya dia bilang belum bisa dan belum sanggup melakukannya. Dia tak tahu apakah keluarganya mau menerimaku atau tidak jika calon menantunya adalah seorang janda. Karena di dalam keluarganya harga diri, nama baik, status sosial, bibit, bebet, dan bobot adalah sangat menjadi pertimbangan. Aku sangat kecewa dengannya, aku berusaha melupakannya setelah pertemuan itu, tetapi tidak kusangka dia tetap menelponku meski dia tahu bahwa aku tidak seperti yang dia mau. Dia tetap berusaha menjaga hubungan cinta kami. Lama kelamaan aku menyadari bahwa dia memang benar-benar mencintaiku. Aku tidak pernah merasakan cinta seperti dia mencintaiku, mengagumiku. Aku merasa menjadi wanita yang paling cantik dan sempurna di dunia karena dicintai seseorang pria dewasa seperti dia. Akhirnya kita tetap berhubungan, tak ayal berhubungan badanpun sudah menjadi suatu kebutuhan dan sebuah ungkapan untuk kami melepas rindu. Meski jarak memisahkan kami tetapi tidak memupuskan semangat kami untuk memadu cinta. Sebulan sekali kami pasti bertemu, entah dia yang ke Kalimantan atau aku yang ke Jakarta hanya untuk menemuinya. Meski aku harus berbohong kepada keluarga besarku dan suamiku soal seringnya aku harus keluar kota. Aku selalu membuat alasan kalau aku mendapat tugas dinas keluar kota dari kantor. Dengan penuh kesabaran suamiku selalu mengantarkan aku ke bandara jika aku mau ke jakarta dan menjeputku lagi di bandara saat aku kembali ke Kalimantan. Hari demi hari, bulan demi bulan pun berlalu, kami terus memadu kasih melalui dunia maya, handpone dan sebagainya. Suatu hari keluargaku berniat menikahkan aku secara resmi dengan suamiku, aku bingung harus berbuat apa. Sedangkan aku sudah tidak mencintainya lagi, semua sudah pudar seiring berjalannya waktu. Tetapi aku pun tidak pernah mendapat kepastian dari sahabat bosku itu tentang hubungan kami. Hubunganku dengan sahabat bosku yang tidak tahu kemana akan dibawa membuatku berpikir dua kali. Sampai kapan aku terus mengharapkannya, sedangkan dia seolah lebih mencintai keluarganya dibanding aku. Meskipun dia rela melakukan apa saja untukku tapi tidak untuk menentang keluarganya demi aku. Akhirnya aku memutuskan untuk menjalani pernikahan resmiku bersama suamiku. Meski cintaku kepadanya sudah tidak seperti dahulu lagi tapi aku tidak ada pilihan lain. Daripada aku menunggu selikuhanku yang tidak pernah ada kepastian. Dan akhirnya aku pun menikah resmi. Sahabat bosku itu terus menelponku dan menangis, dia merasa dia juga tidak bisa berbuat apa-apa atas kehidupannya bersamaku. Tapi entah mengapa aku merasa nyaman, tenang, dan bahagia atas pernikahan resmiku bersama suamiku. Meski cintaku tidak lagi sepenuhnya seperti dahulu. Hari demi hari aku lalui dengan berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik di depan suamiku meski aku tidak setia kepadanya. Hubunganku dengan selingkuhanku pun terus berlanjut, tak berbeda dengan sebelum aku menikah kami tetap saling mengunjungi entah aku ke Jakarta atau dia yang ke kalimantan. Dia tetap mencintaiku seperti dulu, tidak berubah. Dia tetap mengagumiku, memujaku seperti dulu, bahkan kami sempat untuk berencana memiliki anak. Kami terus berusaha untuk bisa segera punya anak, sama seperti suamiku yang ingin segera memiliki anak dari pernikahan kami. Satu bulan, dua bulan, akhirnya bulan keempat pun tiba. Aku merasa tidak mendapatkan haid di bulan itu. Seminggu setelahnya aku periksa kedokter ternyata hasilnya positif, iya aku hamil. Meski aku belum tahu anak siapa yang aku kandung tapi berita ini membuat kedua laki-laki yang sama-sama mencintaiku itu sangat bahagia. Tapi entah kenapa aku tidak yakin kalau ini anak selingkuhanku, karena dilihat dari frekuwensi kami bertemu hanya sebulan sekali, meski setiap kali kami bertemu kami pasti berhubungan badan. Pernah suatu hari selingkuhanku menanyakan kepastian siapa bapak dari anak yang aku kandung, tapi aku meyakinkan dia bahwa untuk tidak terlalu berharap karena menurutku labih baik dia kecewa sekarang daripada nanti setelah aku melahirkan, dia lebih kecewa lagi ketika dia tahu bahwa si kecil ngga mirip dia. Hari ke hari, bulan ke bulan, sampe akhirnya tiba waktu aku melahirkan. Suamiku yang setia menungguiku dari awal aku merasa kesakitan sampai saatnya aku bertaruh nyawa melahirkan anakku, anakku yang aku belum tahu siapa bapaknya. Dari pagi sampai pagi lagi suamiku dengan sabar mendampingiku, memberiku support dan semangat. Sampai dia tertidur di sebelahku, aku mengamatinya dan memandangnya ya Allah aku telah banyak menyakitinya, menghianatinya tanpa pernah dia tahu. Seandainya dia tahu perbuatanku yang sangat bejat ini mungkin dia tidak akan pernah mau melihat mukaku lagi dan mungkin aku akan kehilangan laki-laki yang sangat setia dan baik ini. Rasa ibaku muncul, tiba-tiba aku ingat masa-masa dulu aku bersamanya merajut cinta. Susah senang kami jalani bersama tanpa mengeluh. Cintaku kembali bersemi untuk suamiku, rasa iba itu membawaku kembali mencintainya, menyayanginya, ya Allah betapa aku merasa diriku hina sekali dihadapannya. Aku tidak pantas memperlakukannya seperti itu. Ternyata aku sadari bahwa masih ada setitik rasa cinta untuk suamiku. Akhirnya aku pun melahirkan buah hatiku, yang banyak orang menantinya. Dia cantik, putih bersih, mungil. Wajahnya mirip sekali denganku, tetapi bentuk tubuhnya mirip sekali dengan ayahnya, ya! Ayahnya yang tegap, tinggi besar, dan bertulang besar, dia adalah suamiku. Suamiku yang sah yang akupun mulai mencintainya lagi, menyayanginya. Ternyata bapak dari anakku adalah suamiku yang sah, entah kenapa pula aku sangat bahagia mengetahui bahwa ayah kandung dari anakku adalah suamiku sendiri, suami yang sah, yang aku khianati sejak lama. Akupun menelpon selingkuhanku untuk memberi tahu kabar baik ini kepadanya, meski belum tentu ini adalah kabar menggembirakan buat dia. Setelah kuberi tahu, dia seolah sudah siap atas segala kemungkinan yang akan terjadi, kemungkinan bahwa si mungil cantikku itu bukanlah keturunanya. Kami sempat berkomunikasi melalui video call di rumah sakit, dan akupun menunjukkan si kecil padanya. Dia tetap bahagia meski dia tahu bahwa anakku bukan darah dagingnya. dia selalu menanyakan kabar anakku setiap dia menelponku. Dia juga ikut cemas jika si kecil sakit. Bahkan dia mengirimkan kado istimewa untuk si kecil. Aku tidak pernah tahu terbuat dari apakah cintanya buatku. Seperti apapun kondisiku dia tetap mencintaiku dan memujaku. Tapi aku kini telah sadar, aku mulai mencintai suamiku lagi, mulai menyayanginya lagi. Dan aku pun mulai jarang menghubungi selingkuhanku. Tapi meski begitu dia tidak pernah putus asa untuk selalu menjalin hubungan baik denganku. Baginya meskipun dia tidak bisa memilikiku paling tidak dia tetap bisa berteman denganku, tahu kabarku. Bahkan dia mengirimkan uang untuk kado si kecil. Membelikan boneka saat dia ke kotaku di kalimantan. Aku sangat menghargai cintanya buatku, tapi aku sadar bahwa aku sudah bersuami dan bahkan sekarang ada si kecil yang selalu membuatku sadar akan kodratku dan statusku. Aku menyanyangimu Suamiku.. meski di hatiku sudah terbagi dengan yang lain meski secuil. Maafkan aku, tapi aku berjanji aku tidak akan meninggalkan kalian suamiku dan anakku, kalian tetap nomor satu bagiku. Aku mencintai kalian, kalian adalah semangat hidupku.