Rabu, 05 September 2012

Selingkuh

Setelah tepat sasaran, Pak Tambunan mulai menekan pantatnya hingga batang Kontol nya amblas tertelan Lubang Memek ku. Ia diam beberapa saat untuk menikmati sensasi indahnya jepitan Liang Memek Nikmat ku. Dengan bertumpu pada kedua lututnya, Pak Tambunan mulai menggenjot Lubang Memek ku dari arah belakang. Kembali terdengar suara tepukan crrrrokk…..crrroook ..... Crrrrrrok..... beradunya pantatku dengan tulang kemaluan Pak Tambunan yang semakin lama semakin cepat mengayunkan pantatnya maju mundur. Kurang puas dengan jepitan Liang Memek Nikmat ku, kedua pahaku yang terbuka dikatupkannya hingga kedua kakiku berada diantara kedua paha Pak Tambunan. Kembali ia mengayunkan Kontol nya terus maju mundur teratur. Aku merasakan betapa jepitan Liang Memek Nikmat ku kian erat menjepit kemaluannya. Aku bermaksud menggerakkan pantatku mengikuti gerakanya, tetapi tekanan tangannya terlalu keker untuk kulawan hingga aku pasrah saja. Aku benar-benar dibawah penguasaannya secara total. Tempat tidurku ikut bergoyang seiring dengan ayunan Kontol Gede Pak Tambunan yang menghunjam ke dalam Liang Memek Nikmat ku. Nafsuku mulai terbangkit lagi. Perlahan-lahan gairahku meningkat saat Kontol Gede Pak Tambunan menggesek-gesek kelentitku.
"Ugh.. Ugh.. Uhh.." terdengar suara Pak Tambunan mendengus saat memacu menggerakkan pantatnya menghunjamkan kemaluannya. "Terushh.. Terushh Pak.. Terushh.. Ahh.." kembali tubuhku bergetar melepas orgasmeku. Kepalaku terdongak ke belakang, sementara Pak Tambunan tetap menggerakkan kemaluannya dalam jepitan Liang Memek Nikmat ku. Kini tubuhnya sepenuhnya menindihku. Kepalaku yang terdongak ke belakang didekapnya dan dilumatnya bibirku sambil tetap menggoyangkan pantatnya maju mundur. Aku yang sedikit terbebas dari tekanannya ikut memutar pantatku untuk meraih kenikmatan lebih banyak. Kami terus bergerak sambil saling berpagutan bibir dan saling mendorong lidah kami. Entah sudah berapa kali aku mencapai orgasme selama bersetubuh dengan Pak Tambunan ini. Hebatnya ia baru sekali mengalami ejakulasi saat persetubuhan pertama tadi. Tubuhku terasa loyo sekali. Aku sudah tidak mampu bergerak lagi. Pak Tambunan melepaskan batang Kontol nya dari jepitan Memek ku dan mengangkat tubuhku hingga posisi telentang. Aku sudah pasrah. Dibentangkannya kedua pahaku lebar-lebar lalu kembali Pak Tambunan menindihku. Lubang Memek ku yang sudah sangat licin disekanya dengan handuk kecil yang ada di tempat tidur. Kemudian ia kembali menusukkan batang Kontol nya ke bibir kemaluanku. Perlahan namun pasti, seperti gayanya tadi dikocoknya batang Kontol nya hingga sedikit demi sedikit kembali terbenam dalam kehangatan Liang Memek Nikmat ku. Tubuh kami yang sudah basah oleh peluh kembali bergumul. "Pak Tambunan.. Hebatthh.." bisikku. "Biasa Bu.. Kalau ronde kedua saya suka susah keluarnya.." demikian kilahnya. Kami tidak dapat berbicara lagi karena lagi-lagi bibir Pak Tambunan sudah melumat bibirku dengan ganasnya. Lidah kami saling dorong mendorong sementara pantat Pak Tambunan kembali menggenjotku sekuat-kuatnya hingga tubuhku timbul tenggelam dalam busa springbed yang kami gunakan. Kulihat tonjolan urat di kening Pak Tambunan semakin jelas menunjukkan napsunya sudah mulai meningkat. Napas Pak Tambunan semakin mendengus seperti kerbau gila. Aku yang sudah lemas tak mampu lagi mengimbangi gerakan Pak Tambunan. "Ugh.. Ughh.. Uhh.." dengus napasnya semakin bergemuruh terdengar di telingaku. Bibirnya semakin ketat melumat bibirku. Lalu kedua tangan Pak Tambunan menopang pantatku dan menggenjot Lubang Memek ku dengan tusukan-tusukan batang Kontol nya. Aku tahu sebentar lagi ia akan sampai. Aku pun menggerakkan pantatku dengan sisa-sisa tenagaku. Benar saja tiba-tiba ia menggigit bibirku dan menghunjamkan batang Kontol nya dalam-dalam ke dalam Liang Memek Nikmat ku dan Crotttttttsss.. Crrrrrottttttt.. Crott.. Crott.. Crrot.. Ada lima kali mungkin ia menyemprotkan Peju nya ke dalam rahimku. Ia masih bergerak beberapa saat seperti berkelojotan, lalu ambruk di atas perutku. Aku yang sudah kehabisan tenaga tak mampu bergerak lagi. Kami tetap berpelukan menuntaskan rasa nikmat yang baru kami raih. Kontol Gede Pak Tambunan yang masih kencang tetap menancap ke dalam Liang Memek Nikmat ku. Keringat kami melebur menjadi satu. Akhirnya kami tertidur sambil tetap berpelukan dengan Kontol Gede Pak Tambunan tetap tertancap dalam Liang Memek Nikmat ku. Paginya kami sempat bersetubuh lagi sebelum Pak Tambunan pulang kembali ke kantor. Kami pun berjanji bahwa kami akan berlaku wajar seoalh-olah tidak terjadi apa-apa di antara kami. Sudah hampir satu bulan sejak persetubuhanku dengan Pak Tambunan kami tidak melakukannya lagi. Hal ini disebabkan karena suamiku selalu berada di rumah dan aku juga sempat dinas luar sehingga tidak ada kesempatan bertemu secara bebas. Lama-lama aku merasa kangen juga dengan 'tongkat' Pak Tambunan. Aku sudah merindukan keliarannya, bau keringatnya dan juga kejantanannya. Akhirnya kesempatan yang kutunggu-tunggu datang juga. Itulah yang namanya rezeki, tidak dapat dikejar dan tidak dapat pula ditolak. Kalau sudah waktunya pasti akan datang dengan sendirinya. Hari Sabtu jadi kantor libur. Kebetulan pula suamiku sedang seminar di Jakarta dan pulang Minggu sore. Karena suntuk di rumah aku mencoba datang ke kantor siapa tahu ketemu dengan Pak Tambunan. Tetapi sesampai di kantor ternyata dia tidak ada. Selidik punya selidik ternyata Pak Tambunan sedang mengambil cuti tahunan, jadi ia libur selama satu minggu. Terdorong kerinduanku aku memberanikan diri mendatangi rumahnya. Toh aku sudah biasa datang ke sana dan sudah kenal baik dengan istrinya. Setelah membeli biskuit dan gula serta susu buat bayinya aku meluncur ke rumahnya yang kalau kutempuh dari kantor kira-kira memakan waktu 45 menit. Lumayan jauh. Suasana tampak sepi saat mobilku memasuki halaman rumah Pak Tambunan yang sudah sangat kukenal. Aku mengenal seluk beluk rumah itu, seluruh penghuninya dan tetangganya karena aku memang sering datang ke situ. Setelah memarkir mobilku di samping rumahnya aku mencoba memanggil si penghuni rumah. "Yu.. Yu Surti.. Ini aku Yuniar.." berulang ulang kupanggil nama istri Pak Tambunan, namun tidak ada jawaban. Rumah tidak terkunci namun tidak ada orang. Aku lalu memutuskan untuk memutar ke belakang rumah siapa tahu mereka berada di kebun belakang rumah. Tetapi tidak ada orang satu pun di kebun belakang rumah. Namun sayup-sayup kudengar suara berkecipak air di kamar mandi yang terletak di sudut belakang rumah Pak Tambunan. Jangan berpikiran kalau kamar mandi di perkampungan sama seperti di kota-kota. Kamar mandi milik Pak Tambunan hanya dibatasi anyaman bambu tanpa atap, sehingga bila hujan selalu kehujanan dan kalau panas selalu kepanasan. Untungnya lokasinya berada di bawah pohon rambutan sehingga agak terlindung dari panas. Kudengar suara parau mendendangkan lagu Dangdut yang tidak begitu kukenal. Aku memang tidak suka sama musik dangdut jadi kurang begitu kenal dengan lagu yang dinyanyikan dengan suara fals. Itu suara Pak Tambunan yang sangat kukenal di telingaku. Dengan rasa iseng kuintip Pak Tambunan yang sedang mandi lewat celah-celah anyaman bambu yang agak longgar. Kulihat tubuh Pak Tambunan yang kekar nampak mengkilat terkena busa sabun. Batang Kontol nya yang besar tampak menggantung dipenuhi busa sabun dan kelihatan lucu, seperti badut. Batang Kontol nya bergoyang-goyang seperti jam dinding kuno seiring dengan gerakan Pak Tambunan yang menyabuni tubuhnya. Pak Tambunan yang hanya berbalut handuk tampak kaget melihatku sudah duduk di bangku panjang yang terletak di beranda belakang rumahnya. "Lho.. Bu Yuniar.. Sudah lama datangnya?" ia melongo seolah tak percaya dengan kedatanganku. "Enggak baru saja sampai kok. Orang-orang pada kemana kok sepi?" "Em.. Anu Bu Surti sedang ke Jawa menengok ibunya. Katanya ibunya kangen sama cucunya" "Lho kok enggak bareng sama Pak Tambunan?" "Enggak soalnya biar irit ongkosnya Bu. Silahkan masuk Bu.." Aku pun masuk ke rumah melalui dapur dengan diiringi Pak Tambunan. Begitu pintu ditutup Pak Tambunan langsung memeluk tubuhku dari belakang. Diciuminya tengkukku dengan ganas seperti biasanya. "Saya.. Kangen sama Bu Yuniar.." bisiknya di telingaku. Aku sendiri juga kangen dengan Pak Tambunan. Kangen dengan cumbuannya dan kangen dengan tongkatnya, tetapi aku tetap berpura-pura menjaga wibawaku. "Ahh.. Pak Tambunan bisa saja.. Kan sudah ada Yu Surti.." "Memang sih.. Tapi benar saya kangen sama Ibu.." Tangannya bergerak ke belakang dan meremas buah pantatku. Sementara itu mulutnya terus turun ke arah perutku dan lidahnya mengosek-ngosek pusarku membuat aku kembali terangsang hebat. Tiba-tiba Pak Tambunan melepaskan tanganku dari batang Kontol nya dan bersimpuh di depanku yang masih berdiri. Dengan serta merta digigitnya celana dalamku dan ditarik dengan giginya ke bawah hingga teronggok di pergelangan kakiku. Aku membantunya melepaskan satu-satunya penutup tubuhku dan menendangnya jauh-jauh. Kini mulut Pak Tambunan sibuk menggigit dan menjilat daerah selangkanganku. Dikuakannya kakiku lebar-lebar hingga ia lebih leluasa menggarap selangkanganku. Dengan bersimpuh Pak Tambunan mulai menjilati labia mayoraku sementara tangannya meremas pantatku dan menekannya ke depan hingga wajahnya lebih ketat menyuruk ke bukit kemaluanku. "Akhh. Terushh.. Ohh.." aku hanya bisa merintih saat lidah Pak Tambunan menyeruak ke dalam Liang Memek Nikmat ku yang sudah sangat licin. Ditekankannya wajahnya ke selangkanganku hingga lidahnya semakin dalam menyeruak ke dalam Liang Memek Nikmat ku. Aku semakin menggelinjang saat lidah Pak Tambunan dengan nakalnya mempermainkan kelentitku. Sesekali ia menyedot kelentitku dan mengosek-kosek kelentitku dengan lidahnya. Gila.. Tubuhku mulai mengejang dan perutku seakan-akan diaduk-aduk karena harus menahan kenikmatan. Pak Tambunan sudah tidak peduli dengan keadaanku yang kepayahan menahan nikmat. Lidahnya bahkan semakin liar mempermainkan tonjolan di ujung atas liang vaginaku. Akhirnya aku tak mampu menahan gempuran badai birahi yang melandaku. Tubuhku berkelojotan, dan mataku membeliak menahan nikmat yang amat sangat. Tubuhku melayang. "Akhh.. Terr.. Ushh" Tubuhku terus berkejat-kejat sampai titik puncaknya dan kurasakan ada sesuatu yang meledak di dalam sana. Tubuhku melemas seolah tak bertenaga. Aku hanya bersandar dengan lemas ke dinding kamar tanpa mampu bergerak lagi. Pak Tambunan lalu berdiri di hadapanku. "Bagaimana Bu..?" bisiknya di telingaku. "Ohh.. Luar biasa.. Pak Tambunan hebb.. bathh" desahku. Masih dengan posisi berdiri dengan aku menyandar dinding, Pak Tambunan menyergap bibirku lagi. Pak Tambunan menempatkan dirinya di antara kedua pahaku yang terbuka lalu dicucukannya batang Kontol nya ke Lubang Memek ku yang sudah sangat basah. Dengan tangannya Pak Tambunan menggosok-gosokkan kepala kemaluannya ke Lubang Memek ku. Tubuhku kembali bergetar. Aku mulai terangsang lagi, saat kepala kemaluan Pak Tambunan menggesek-gesek tonjolan kecil di Lubang Memek ku. Dengan perlahan Pak Tambunan mendorong pantatnya ke depan hingga batang Kontol nya menyeruak ke dalam Liang Memek Nikmat ku. "Hmmphh.." hampir bersamaan kami mendengus saat Kontol Gede Pak Tambunan menerobos Liang Memek Nikmat ku dan menggesek dinding liang vaginaku yang sudah sangat licin. Lidah kami saling bertaut, saling mendorong dan saling melumat. Tubuhku tersentak-sentak mengikuti hentakan dorongan pantat Pak Tambunan. Pak Tambunan terus menekan dan mendorong pantatnya menghunjamkan batang Kontol nya ke dalam Liang Memek Nikmat ku dengan posisi berdiri. Entah karena kurang leluasa atau kurang nyaman, tiba-tiba Pak Tambunan mencabut batang Kontol nya yang terjepit Liang Memek Nikmat ku. Ia membalikkan tubuhku menghadap dinding dan ia sekarang berdiri di belakangku. Tubuhku sedikit ditunggingkan dengan kedua tangan menopang tembok. Dipentangkannya kedua kakiku lebar-lebar, lalu ditusukkannya batang Kontol nya ke Lubang Memek ku dari belakang. Kali ini gerakanku dan gerakannya agak lebih leluasa. Kedua tangan Pak Tambunan meremas dan memegang erat pantatku sambil mengayunkan pantatnya maju mundur. Batang Kontol nya semakin lancar keluar masuk Liang Memek Nikmat ku yang sudah sangat licin. "Ughh.. Ughh.." kudengar Pak Tambunan mendengus-dengus seperti kereta sedang menanjak. Aku pun mengimbangi gerakan ayunan pantat Pak Tambunan dengan sedikit memutar pantatku dengan gaya ngebor. Napas Pak Tambunan semakin menderu saat kulakukan gaya ngeborku. Batang Kontol nya seperti kupilin dalam jepitan Liang Memek Nikmat ku. Nafsuku yang sudah terbangkit semakin mengelora. Desakan-desakan kuat di dalam tubuh bagian bawahku semakin menekan. Kugoyang pantatku semakin liar menyongsong sodokan Kontol Gede Pak Tambunan. "Teruss.. Buu.. Terusshh" Pak Tambunan mendesis-desis dan tangannya semakin kuat mencengkeram pantatku membantuku bergoyang semakin kencang. "Arghh.. Arghh.. Akhh.. Say.. Saya.. Keluarhh buu.." kudengar Pak Tambunan menggeram saat batang Kontol nya mengedut-ngedut dalam jepitan Liang Memek Nikmat ku. Aku pun merasa sudah di ambang puncak kenikmatanku. Kugoyangkan pantatku semakin liar dan akhirnya kuayunkan pantatku ke belakang menyongsong tusukan Pak Tambunan hingga batang Kontol nya melesak sedalam-dalamnya seolah-olah menumbuk mulut rahimku dan kurasakan ada semburan cairan hangat dari Kontol Gede Pak Tambunan di dalam liang vaginaku. Crat.. Crrtt.. Crutt.. Crtt.. Crott..!! Banyak sekali cairan sperma Pak Tambunan yang tersembur menyiram rahimku, hingga sebagian menetes ke karpet kamar tidurnya. Kami tetap terdiam sambil mengatur napas. Tangan Pak Tambunan memeluk dadaku dan batang Kontol nya masih mengedut-ngedut menyemburkan sisa-sisa air mani ke dalam Liang Memek Nikmat ku. Akhirnya kami berdua menggelosor ambruk ke kasur kumal yang biasa ditiduri Pak Tambunan dan istrinya. Kami berbaring dengan Pak Tambunan masih memeluk tubuhku dari belakang. Kontol Gede Pak Tambunan yang sudah terkulai menempel di belahan pantatku. Kurasakan ada semacam cairan pekat yang menempel ke pantatku dari Kontol Gede Pak Tambunan. Aku tak tahu dengan kain apa Pak Tambunan menyeka Lubang Memek ku untuk membersihkan cairan sperma yang menetes dari labia mayoraku. Aku terlalu lemas untuk memperhatikan. Akhirnya aku tertidur kelelahan setelah 'digempur' habis-habisan oleh Pak Tambunan. Aku tidak tahu berapa lama aku telah tertidur di kasur Pak Tambunan. Aku tersadar saat ada sesuatu benda lunak yang memukul-mukul bibirku. Saat kulirik aku terkejut ternyata benda yang memukul-mukul bibirku tadi adalah Kontol Gede Pak Tambunan yang sudah setengah ereksi. Ternyata ia sedang berjongkok dengan mengangkangiku dan tangannya memegangi batang Kontol nya sambil dipukul-pukulkannya pelan-pelan ke bibirku. Begitu melihat aku terbangun, dengan serta merta Pak Tambunan memegang bagian belakang kepalaku dan menyodorkan batang Kontol nya ke mulutku. Aku menjadi gelagapan karena bangun-bangun sudah disodori Kontol Gede laki-laki!! Gila. Kurasakan ada sedikit rasa asin-asin yang agak aneh saat bibirku mulai mengulum Kontol Gede Pak Tambunan yang disodorkan padaku. Sedikit demi sedikit Kontol Gede itu semakin mengeras dalam kulumanku. Beberapa saat kemudian Pak Tambunan membalikkan posisinya. Batang Kontol nya masih kukulum dengan liar kemudian ia menundukkan tubuhnya dan wajahnya kini menghadap selangkanganku. Dipentangkannya kedua pahaku kemudian lidahnya mulai bekerja menjilat dan melumat gundukan kemaluanku. Aku semakin gelagapan karena merasa kegelian di selangkanganku sementara mulutku tersumpal Kontol Gede Pak Tambunan. Aku ikut menyedot batang Kontol nya saat Pak Tambunan menyedot kemaluanku. Kami saling menjilat dan menyedot kemaluan kami masing-masing dengan posisi Pak wajah Tambunan menyeruak ke selangkanganku dan wajahku dikangkangi Pak Tambunan. Aku semakin menggelinjang liar saat lidah Pak Tambunan mengais-ngais lubang anusku dengan menekuk kedua pahaku ke atas. Aku sangat terangsang dengan perlakuannya itu. Apalagi saat lidahnya dimasukkan dalam-dalam ke lubang vaginaku. Aku tak mampu menjerit karena mulutku tersumpal batang Kontol nya. Tubuhku bergetar hebat menahan kenikmatan yang menyergapku. Pak Tambunan dengan ganas menjilat-jilat tonjolan kecil di Lubang Memek ku dengan kedua tangannya membuka lebar-lebar labia mayoraku ke arah berlawanan. Aku tak mampu bertahan lama atas perlakuannya itu. Tubuhku mengejan dan berkelejat seperti cacing kepanasan. Lalu tubuhku tersentak selama beberapa saat dan akhirnya terdiam. Aku mengalami orgasme lagi dengan cepatnya. Pak Tambunan masih membiarkan batang Kontol nya menyumpal mulutku sambil sesekali lidahnya menyapu-nyapu dinding vulvaku. Setelah aku mulai dapat mengatur napasku, Pak Tambunan menggulingkan tubuhnya ke samping dan menarik tubuhku agar naik ke perutnya. Ia bergeser ke arah dekat dinding dan menumpuk beberapa bantal di belakang punggungnya hingga posisinya kini setengah duduk. Tubuhku ditariknya hingga menduduki perutnya lalu diangkatnya pantatku dan dicucukannya batang Kontol nya ke Lubang Memek ku. Dengan pelan aku menurunkan pantatku hingga Kontol Gede Pak Tambunan secara perlahan melesak ke dalam jepitan Liang Memek Nikmat ku. Aku menahan napas menikmati gesekan batang Kontol nya di dinding Lubang Memek ku. Setelah beberapa kocokan yang kulakukan akhirnya amblaslah seluruh Kontol Gede Pak Tambunan ke dalam Lubang Memek ku. Kini aku duduk di atas perut Pak Tambunan yang setengah duduk dengan punggung diganjal bantal. Dengan tangan bertumpu dinding tembok aku mulai bergerak menaik-turunkan pantatku secara perlahan. Sementara itu tangan Pak Tambunan mencengkeram pantatku membantu menggerakkan pantatku naik turun, mulutnya sibuk menetek payudaraku. Posisi di atas merupakan salah satu posisi favoritku. Karena dengan posisi ini aku dapat mengontrol sentuhan-sentuhan pada daerah sensitifku dengan Kontol Gede laki-laki yang menancap di Lubang Memek ku. "Akhh.. Shh.. Terushh.. Pak Mar.. Sanhh" aku mendesis-desis saat Pak Tambunan ikut mengimbangi goyanganku sambil kedua tangannya menekan kedua payudaraku hingga kedua putingku masuk ke dalam mulut Pak Tambunan. Kedua putingku dijilat-jilat dan disedot secara bersamaan hingga membuat nafsuku meningkat secara cepat. Aku semakin liar menggerakkan pantatku di pangkuan Pak Tambunan. Tubuhku kembali mengejat-ngejat dan seperti terhantam aliran listrik. "Terusshh.. Terusshh.. Ouchh.." aku semakin liar mendesis saat kurasakan sesuatu meledak-ledak. Tubuhku terasa terhempas ke tempat kosong lalu akhirnya aku ambruk di dada Pak Tambunan. Pak Tambunan lalu bangkit dan berganti menindihku dengan tanpa melepaskan batang Kontol nya dari jepitan Lubang Memek ku. Bantal yang tadi mengganjal punggungku ditaruhnya untuk mengganjal pantatku hingga gundukan kemaluanku semakin membukit. Aku yang sudah lemas kembali dijadikan bulan-bulanan genjotan batang Kontol nya. Bibirnya tak henti-hentinya melumat bibirku dan pantatnya dengan mantap memompa batang Kontol nya menusuk-nusuk Lubang Memek ku. Kedua tangan Pak Tambunan mengganjal bongkahan pantatku hingga tusukannya kurasakan sangat dalam menumbuk perutku. "Ughh.. Ughh.. Putarrhh.. Buu.. Putarrhh ugghh.." kudengar Pak Tambunan mendengus memintaku memutar pantatku. Aku menuruti permintaannya memutar pantatku dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada. "Terushh.. Terushh ter.. Oughh!!" Akhirnya dengan diiringi dengusan panjang tubuh Pak Tambunan berkelojotan. Tubuhnya tersentak-sentak dan hunjaman batang Kontol nya serasa menghantam sangat dalam karena didorong sekuat tenaga olehnya. Batang Kontol nya berdenyut-denyut dalam jepitan Liang Memek Nikmat ku dan crott.. Crott.. Crott batang Kontol nya menyemburkan cairan kenikmatan ke dalam Liang Memek Nikmat ku. Aku merasa ada desiran hangat menyembur beberapa kali dalam Lubang Memek ku. Nikmat sekali rasanya. Tubuh Pak Tambunan masih berkelojotan untuk beberapa saat lalu akhirnya terdiam. "Oughh.. Bu.. Yu.. Ni hebatthh" bisiknya di telingaku dengan napas yang masih ngos-ngosan. Tubuh kekarnya ambruk menindih tubuh telanjangku. Batang Kontol nya dibiarkannya tertancap erat dalam jepitan Liang Memek Nikmat ku. Kami berdua sama-sama diam menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami raih. Hari sudah menjelang sore saat aku bangun dari kasur Pak Tambunan. Aku kaget saat mau kupakai celana dalamku ternyata sudah basah oleh lendir yang masih menempel. Rupanya tadi Pak Tambunan menyeka lubang vaginaku dengan celana dalamku! Sialan juga terpaksa aku tidak memakai celana dalam. Dengan memakai celana dan baju atasanku aku keluar ke kamar mandi dan cebok membersihkan Lubang Memek ku dari sisa-sisa lendir sehabis persetubuhan tadi. Aku baru saja mau berdiri dan menaikkan celanaku saat tiba-tiba Pak Tambunan yang hanya dililit handuk ikut masuk ke kamar mandi. Belum selesai membanahi celanaku lagi-lagi Pak Tambunan merangsekku di kamar mandinya yang terbuka. Diturunkannya lagi celanaku hingga sebatas lutut lalu didekapnya aku dari belakang. Bibirnya dengan gansa dan rakus menjilat dan mencumbu daerah belakang telingaku hingga gairahku mulai terbangkit lagi. Melihat aku sudah dalam genggamannya dilepasnya lilitan handuknya hingga ia telanjang bulat. Batang Kontol nya yang sudah setengah keras menempel ketat di belahan pantatku. Aku sengaja menekan pantatku mundur hingga menggencet batang Kontol nya semakin terbanam di antara kedua belah buah pantatku. Kugeser-geser pantatku dengan lembut hingga lama-kelamaan batang itu mulai mengeras lagi. Setelah keras dicucukannya batang Kontol nya ke celah-celah sempit di gundukan bukit kemaluanku lalu digosok-gosokannya ujungnya ke alur sempit itu yang sudah mulai basah. Sekali lagi kami bersetubuh dengan hanya menurunkan celana panjangku sebatas lutut dan Pak Tambunan menggenjotku lagi dengan posisi berdiri. Aku harus bertumpu pada bak mandi yang terbuat dari gentong tanah sambil setengah nungging sementara Pak Tambunan menggenjot dari belakang. Gila. Pak satpam satu ini memang gila! Bagaimana tidak ia punya dua 'tongkat', yang satu dapat membuat orang kesakitan sedangkan yang satunya dapat membuat orang merem-melek keenakan!

Bercinta Dengan Ibu Mertua

Bapak mertuaku (Pak Tom, samaran) yang berusia sekitar 60 tahun baru saja pensiun dari pekerjaannya di salah satu perusahaan di Jakarta. Sebetulnya beliau sudah pensiun dari anggota ABRI ketika berumur 55 tahun, tetapi karena dianggap masih mampu maka beliau terus dikaryakan. Karena beliau masih ingin terus berkarya, maka beliau memutuskan untuk kembali ke kampungnya didaerah Malang, Jawa Timur selain untuk menghabiskan hari tuanya, juga beliau ingin mengurusi kebun Apelnya yang cukup luas. Ibu mertuaku (Bu Mar, samaran) walaupun sudah berumur sekitar 45 tahun, tetapi penampilannya jauh lebih muda dari umurnya. Badannya saja tidak gemuk gombyor seperti biasanya ibu-ibu yang sudah berumur, walau tidak cantik tetapi berwajah ayu dan menyenangkan untuk dipandang. Penampilan ibu mertuaku seperti itu mungkin karena selama di Jakarta kehidupannya selalu berkecukupan dan telaten mengikuti senam secara berkala dengan kelompoknya. Beberapa bulan yang lalu, aku mengambil cuti panjang dan mengunjunginya bersama Istriku (anak tunggal mertuaku) dan anakku yang baru berusia 2 tahun. Kedatangan kami disambut dengan gembira oleh kedua orang mertuaku, apalagi sudah setahun lebih tidak bertemu sejak mertuaku kembali ke kampungnya. Pertama-tama, aku di peluk oleh Pak Tom mertuaku dan istriku dipeluk serta diciumi oleh ibunya dan setelah itu istriku segera mendatangi ayahnya serta memeluknya dan Bu Mar mendekapku dengan erat sehingga terasa payudaranya mengganjal empuk di dadaku dan tidak terasa penisku menjadi tegang karenanya. Dalam pelukannya, Bu Mar sempat membisikkan Sur…(namaku).., Ibu kangen sekali denganmu”, sambil menggosok-gosokkan tangannya di punggungku, dan untuk tidak mengecewakannya kubisiki juga, “Buuu…, Saya juga kangen sekali dengan Ibu”, dan aku menjadi sangat kaget ketika ibu mertuaku sambil tetap masih mendekapku membisikiku dengan kata-kata, “Suuur…, Ibu merasakan ada yang mengganjal di perut Ibu”, dan karena kaget dengan kata-kata itu, aku menjadi tertegun dan terus saling melepaskan pelukan dan kuperhatikan ibu mertuaku tersenyum penuh arti. Setelah dua hari berada di rumah mertua, aku dan istriku merasakan ada keanehan dalam rumah tangga mertuaku, terutama pada diri ibu mertuaku. Ibu mertuaku selalu saja marah-marah kepada suaminya apabila ada hal-hal yang kurang berkenan, sedangkan ayah mertuaku menjadi lebih pendiam serta tidak meladeni ibu mertuaku ketika beliau sedang marah-marah dan ayah mertuaku kelihatannya lebih senang menghabiskan waktunya di kebun Apelnya, walaupun di situ hanya duduk-duduk seperti sedang merenung atau melamun. Istriku sebagai anaknya tidak bisa berbuat apa-apa dengan tingkah laku orang tuanya terutama dengan ibunya, yang sudah sangat jauh berlainan dibanding sewaktu mereka masih berada di Jakarta, kami berdua hanya bisa menduga-duga saja dan kemungkinannya beliau itu terkena post power syndrome. Karena istriku takut untuk menanyakannya kepada kedua orang tuanya, lalu Istriku memintaku untuk mengorek keterangan dari ibunya dan supaya ibunya mau bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya, maka istriku memintaku untuk menanyakannya sewaktu dia tidak sedang di rumah dan sewaktu ayahnya sedang ke kebun Apelnya. Di pagi hari ke 3 setelah selesai sarapan pagi, istriku sambil membawa anakku, pamitan kepada kedua orang tuanya untuk pergi mengunjungi Budenya di kota Kediri, yang tidak terlalu jauh dari Malang dan kalau bisa akan pulang sore nanti. “Lho…, Mur (nama istriku), kok Mas mu nggak diajak..?”, tanya ibunya. “Laah.., nggak usahlah Buuu…, biar Mas Sur nemenin Bapak dan Ibu, wong nggak lama saja kok”, sahut istriku sambil mengedipkan matanya ke arahku dan aku tahu apa maksud kedipan matanya itu, sedangkan ayahnya hanya berpesan pendek supaya hati-hati di jalan karena hanya pergi dengan cucunya saja. Tidak lama setelah istriku pergi, Pak Tompun pamitan dengan istrinya dan aku, untuk pergi ke kebun apelnya yang tidak terlalu jauh dari rumahnya sambil menambahkan kata-katanya, “Nak Suuur…, kalau nanti mau lihat-lihat kebun, susul bapak saja ke sana”. Sekarang yang di rumah hanya tinggal aku dan ibu mertuaku yang sedang sibuk membersihkan meja makan. Untuk mengisi waktu sambil menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan tugas yang diminta oleh istriku, kugunakan untuk membaca koran lokal di ruang tamu. Entah sudah berapa lama aku membaca koran, yang pasti seluruh halaman sudah kubaca semua dan tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara sesuatu yang jatuh dan diikuti dengan suara mengaduh dari belakang, dengan gerakan reflek aku segera berlari menuju belakang sambil berteriak, “Buuu…, ada apa buuu?”. Dan dari dalam kamar tidurnya kudengar suara ibu mertuaku seperti merintih, “Nak Suuur…, tolooong Ibuuu”, dan ketika kujenguk ternyata ibu mertuaku terduduk di lantai dan sepertinya habis terjatuh dari bangku kecil di dekat lemari pakaian sambil meringis dan mengaduh serta mengurut pangkal pahanya. Serta merta kuangkat ibu mertuaku ke atas tempat tidurnya yang cukup lebar dan kutidurkan sambil kutanya, “Bagian mana yang sakit Buuu”, dan ibu mertuaku menjawab dengan wajah meringis seperti menahan rasa sakit, “Di sini.., sambil mengurut pangkal paha kanannya dari luar rok yang dipakainya”.
Tanpa permisi lalu kubantu mengurut paha ibu mertuaku sambil kembali kutanya, “Buuu…, apa ada bagian lain yang sakit..? “Nggak ada kok Suuur…, cuman di sepanjang paha kanan ini ada rasa sakit sedikit..”, jawabnya. “Ooh…, iya nak Suuur…, tolong ambilkan minyak kayu putih di kamar ibu, biar paha ibu terasa panas dan hilang sakitnya”. Aku segera mencari minyak yang dimaksud di meja rias dan alangkah kagetku ketika aku kembali dari mengambil minyak kayu putih, kulihat ibu mertuaku telah menyingkap roknya ke atas sehingga kedua pahanya terlihat jelas, putih dan mulus. Aku tertegun sejenak di dekat tempat tidur karena melihat pemandangan ini dan mungkin karena melihat keragu-raguanku ini dan tertegun dengan mataku tertuju ke arah paha beliau, ibu mertuaku langsung saja berkata, “Ayooo..lah nak Suuur…, nggak usah ragu-ragu, kaki ibu terasa sakit sekali ini lho, lagi pula dengan ibu mertua sendiri saja kok pake sungkan sungkan…, tolong di urutkan paha ibu tapi nggak usah pakai minyak kayu putih itu…, ibu takut nanti malah paha ibu jadi kepanasan. Dengan perasaan penuh keraguan, kuurut pelan-pelan paha kanannya yang terlihat ada tanda agak merah memanjang yang mungkin sewaktu terjatuh tadi terkena bangku yang dinaikinya seraya kutanya, “Bagaimana Buuu…, apa bagian ini yang sakit..? “Betul Nak Suuur…, yaa yang ituuu…, tolong urutkan yang agak keras sedikit dari atas ke bawah”, dan dengan patuh segera saja kuikuti permintaan ibu mertuaku. Setelah beberapa saat kuurut pahanya yang katanya sakit itu dari bawah ke atas, sambil memejamkan matanya, ibu mertuaku berkata kembali, “Nak Suuur…, tolong agak ke atas sedikit ngurutnya”, sambil menarik roknya lebih ke atas sehingga sebagian celana dalamnya yang berwarna merah muda dan tipis itu terlihat jelas dan membuatku menjadi tertegun dan gemetar entah kenapa, apalagi vagina ibu mertuaku itu terlihat mengembung dari luar CD-nya dan ada beberapa helai bulu vaginanya yang keluar dari samping CD-nya. “Ayoo…,doong…, Nak Sur, kok ngurutnya jadi berhenti”, kata ibu mertuaku sehingga membuatku tersadar. “Iii…, yaa…, Buuu maaf, tapi…, Buuu”, jawabku agak terbata-bata dan tanpa menyelesaikan perkataanku karena agak ragu. “aah… kenapa sih Nak Suuur..?, kata ibu mertuaku kembali sambil tangan kanannya memegang tangan kiriku serta menggoncangnya pelan. “Buuu…, Saa…, yaa…, saayaa”, sahutku tanpa sadar dan tidak tahu apa yang harus kukatakan, tetapi yang pasti penisku menjadi semakin tegang karena melihat bagian CD ibu mertuaku yang menggelembung di bagian tengahnya. “Nak Suuur..”, katanya lirih sambil menarik tangan kiriku dan kuikuti saja tarikan tangannya tanpa prasangka yang bukan-bukan, dan setelah tanganku diciumnya serta digeser geserkan di bibirnya, lalu secara tidak kuduga tanganku diletakkan tepat di atas vaginanya yang masih tertutup CD dan tetap dipegangnya sambil dipijat-pijatkannya secara perlahan ke vaginanya diikuti dengan desis suara ibu mertuaku, “ssshh…, ssshh”. Kejadian yang tidak kuduga sama sekali ini begitu mengagetkanku dan secara tidak sadar aku berguman agak keras. “Buuu…, Saa…yaa”, dan belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dari mulut ibu mertuaku terdengar, “Nak Suuur…, koook seperti anak kecil saja.., siiih?”. “Buu…, Saa…, yaa…, takuuut kalau nanti bapak datang”, sahutku gemetar karena memang saat itu aku takut benar, sambil mencoba menarik tanganku tetapi tangan ibu mertuaku yang masih tetap memegang tanganku, menahannya dan bahkan semakin menekan tanganku ke vaginanya serta berkata pelan, “Nak Suuur…, Bapak pulang untuk makan siang selalu jam 1 siang nanti…, tolong Ibuuu…, naak”,terdengar seperti mengiba. Sebetulnya siapa sih yang tidak mau kalau sudah seperti ini, aku juga tidak munafik dan pasti para pembaca Situs “17 Tahun.Com” pun juga tidak bisa menahan diri kalau dalam situasi seperti ini, tetapi karena ini baru pertama kualami dan apalagi dengan ibu mertuaku sendiri, tentunya perasaan takutpun pasti akan ada. “Ayooo…lah Nak Suuur…, tolongin Ibuuu…, Naak”, kudengar ibu mertuaku mengiba kembali sehingga membuatku tersadar dan tahu-tahu ibu mertuaku telah memelukku. “Buuu…, biar saya kunci pintunya dulu, yaa..?”, pintaku karena aku was-was kalau nanti ada orang masuk, tetapi ibu mertuaku malah menjawab, “Nggak usah naak…, selama ini nggak pernah ada orang pagi-pagi ke rumah Ibu”, serta terus mencium bibirku dengan bernafsu sampai aku sedikit kewalahan untuk bernafas. Semakin lama ibu mertuaku semakin tambah agresif saja, sambil tetap menciumiku, tangannya berusaha melepaskan kaos oblong yang kukenakan dan setelah berhasil melepaskan kaosku dengan mudah disertai dengan bunyi nafasnya yang terdengar berat dan cepat, ibu mertuaku terus mencium wajah serta bibirku dan perlahan-lahan ciumannya bergerak ke arah leher serta kemudian ke arah dadaku. Ciuman demi ciuman ibu mertuaku ini tentu saja membuatku menjadi semakin bernafsu dan ketakutanku yang tadipun sudah tidak teringat lagi. “Buuu…, boleh saya bukaa…, rok Ibu..? tanyaku minta izin. “Suuur…, bol…, eh…, boleh…, Nak, Nak Suur…, boleh lakukan apa saja..”, katanya dengan suara terputus-putus dan terus kembali menciumi dadaku dengan nafasnya yang cepat dan sekarang malah berusaha melepas kancing celana pendek yang ada di badanku. Setelah rok ibu mertuaku terlepas, lalu kulepaskan juga kaitan BH-nya dan tersembulah payudaranya yang tidak begitu besar dan sudah agak menggelantung ke bawah dengan puting susunya yang besar kecoklatan. Sambil kuusapkan kedua tanganku ke bagian bawah payudaranya lalu kutanyakan, “Buuu…, boleh saya pegang dan ciumi tetek…, Ibuu..? “Bool…, eh…, boleh…, sayang.., lakukan apa saja yang Nak Sur mau.., Ibu sudah lama sekali tidak mendapatkan ini lagi dari bapakmu…, ayoo.., sayaang”, sahut ibu mertuaku dengan suara terbata-bata sambil mengangkat dadanya dan perlahan-lahan kupegang kedua payudara ibu mertuaku dan salah satu puting susunya langsung kujilati dan kuhisap-hisap, serta pelan-pelan kudorong tubuh ibu mertuaku sehingga jatuh tertidur di kasur dan dari mulut ibu mertuaku terdengar, “ssshh…, aahh.., sayaang…, ooohh…, teruuus…, yaang…, tolong puasiiin Ibuu…, Naak”, dan suara ibu mertuaku yang terdengar menghiba itu menjadikanku semakin terangsang dan aku sudah lupa kalau yang kugeluti ini adalah ibu mertuaku sendiri dan ibu dari istriku. “Naak Suuur”, kudengar suara ibu mertuaku yang sedang meremas-remas rambut di kepalaku serta menciuminya, “Ibuu…, ingin melihat punyamu…, Naak”, seraya tangannya berusaha memegang penisku yang masih tertutup celana pendekku. “Iyaa…, Buu…, saya buka celana dulu Buuu”, sahutku setelah kuhentikan hisapanku pada payudaranya serta segera saja aku bangkit dan duduk di dekat muka ibu mertuaku. Segera saja ibu mertuaku memegang penisku yang sedang berdiri tegang dari luar celana dan berkomentar, “Nak Suur…, besar betuuul…, dan keras lagi, ayooo…, dong cepaat.., dibuka celananya…, agar Ibu bisa melihatnya lebih jelas”, katanya seperti sudah tidak sabar lagi, dan tanpa disuruh ibu untuk kedua kalinya, langsung saja kulepas celana pendek yang kukenakan. Ketika aku membuka CD-ku serta melihat penisku berdiri tegang ke atas, langsung saja ibu mertuaku berteriak kecil, “Aduuuh…, Suuur…, besaar sekali”, padahal menurut anggapanku ukuran penisku sepertinya wajar saja menurut ukuran orang Indonesia tapi mungkin saja lebih besar dari punya suaminya dan ibu mertuaku langsung saja memegangnya serta mengocoknya pelan-pelan sehingga tanpa kusadari aku mengeluarkan desahan kecil, “ssshh…, aahh”, sambil kedua tanganku kuusap-usapkan di wajah dan rambutnya. “Aduuuh…, Buuu…, sakiiit”, teriakku pelan ketika ibu mertuaku berusaha menarik penisku ke arah wajahnya, dan mendengar keluhanku itu segera saja ibu mertuaku melepas tarikannya dan memiringkan badannya serta mengangkat separuh badannya yang ditahan oleh tangan kanannya dan kemudian mendekati penisku. Setelah mulutnya dekat dengan penisku, langsung saja ibu mertuaku mengeluarkan lidahnya serta menjilati kepala penisku sedangkan tangan kirinya meremas-remas pelan kedua bolaku, sedangkan tangan kiriku kugunakan untuk meremas-remas rambutnya serta sekaligus untuk menahan kepala ibu mertuaku. Tangan kananku kuremas-remaskan pada payudaranya yang tergantung ke samping. Setelah beberapa kali kepala penisku dijilatinya, pelan-pelan kutarik kepala ibu mertuaku agar bisa lebih dekat lagi ke arah penisku dan rupanya ibu mertuaku cepat mengerti apa yang kumaksud dan walaupun tanpa kata-kata langsung saja kepalanya didekatkan mengikuti tarikan kedua tanganku dan sambil memegangi batang penisku serta dengan hanya membuka mulutnya sedikit, ibu mertuaku secara pelan-pelan memasukkan penisku yang sudah basah oleh air liurnya sampai setengah batang penisku masuk ke dalam mulutnya. Kurasakan lidah ibu mertuaku dipermainkannya dan digesek-gesekannya pada kepala penisku, setelah itu kepala ibu ditariknya mundur pelan-pelan dan kembali dimajukan sehingga penisku terasa sangat nikmat. Karena tidak tahan menahan kenikmatan yang di berikan ibu mertuaku, aku jadi mendesis, “ssshh…, aacccrrr…, ooohh”, mengikuti irama maju mundurnya kepala ibu. Makin lama gerakan kepala ibu mertuaku maju mundur semakin cepat dan ini menambah nikmat bagiku. Beberapa menit kemudian, ibu mertuaku secara tiba-tiba melepaskan penisku dari mulutnya, padahal aku masih ingin hal ini terus berlangsung dan sambil kembali menaruh kepalanya di tempat tidur, dia menarik bahuku untuk mengikutinya. Ibu langsung mencium wajahku dan ketika ciumannya mengarah ke telingaku, kudengar ibu berkata dengan agak berbisik, “Naak Suuur…, Ibu juga kepingin punya ibu dijilati”, dan sambil kunaiki tubuh ibu mertuaku lalu kutanyakan, “Buuu…, apa boleh…, saya lakukan?”, dan segera saja ibu menjawabnya, “Nak Suuur…, tolong pegang dan jilati kepunyaan ibu…, naak…, ibu sudah lama kepingin di gituin”. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, aku menurunkan badanku secara perlahan-lahan dan ketika melewati dadanya kembali kuciumi serta kujilati payudara ibu mertuaku yang sudah tidak terlalu keras lagi, setelah beberapa saat kuciumi payudara ibu, aku segera menurunkan badanku lagi secara perlahan sedangkan ibu mertuaku meremas-remas rambutku, juga terasa seperti berusaha mendorong kepalaku agar cepat-cepat sampai ke bawah. Kuciumi dan kujilati perut dan pusar ibu sambil salah satu tanganku kugunakan untuk menurunkan CD-nya. Kemudian dengan cekatan ku lepas CD-nya dan kulemparkan ke atas lantai. Kulihat vagina ibu mertuaku begitu lebat ditumbuhi bulu-bulu yang hitam mengitari liang vaginanya. Mungkin karena terlalu lama aku menjilati perut dan sekitarnya, kembali kurasakan tangan ibu yang ada di kepalaku menekan ke bawah dan kali ini kuikuti dengan menurunkan badanku pelan-pelan ke bawah dan sesampainya di dekat vaginanya, kuciumi daerah di sekitarnya dan apa yang kulakukan ini mungkin menyebabkan ibu tidak sabaran lagi, sehingga kudengar suara ibu mertuaku, “Nak Suuur…, tolooong…, cepaat…, saa.., yaang…, ayooo…, Suuur”. Tanpa kujawab permintaannya, aku mulai melebarkan kakinya dan kuletakkan badanku di antara kedua pahanya, lalu kusibak bulu vaginanya yang lebat itu untuk melihat belahan vagina ibu dan setelah bibir vagina ibu terlihat jelas lalu kubuka bibir kemaluannya dengan kedua jari tanganku, ternyata vagina ibu mertuaku telah basah sekali. Ketika ujung lidahku kujilatkan ke dalam vaginanya, kurasakan tubuh ibu menggelinjang agak keras sambil berkata, “Cepaat…, Suuur…, ibu sudah nggak tahaan”. Dengan cepat kumasukkan mulut dan lidahku ke dalam vaginanya sambil kujilati dan kusedot-sedot dan ini menyebabkan ibu mulai menaik-turunkan pantatnya serta bersuara, “ssshh…, aahh…, Suuur…, teruuus…, adduuuhh…, enaak…, Suuur”, Lalu kukecup clitorisnya berulang kali hingga mengeras, hal ini membuat ibu mertuaku menggelinjang hebat, “Aahh…, ooohh…, Suuur…, betuuul…, yang itu…, Suuur…, enaak…, aduuuh…, Suuur…, teruskaan…, aahh”, sambil kedua tangannya menjambak rambutku serta menekan kepalaku lebih dalam masuk ke vaginanya. Kecupan demi kecupan di vagina ibu ini kuteruskan sehingga gerakan badan ibu mertuaku semakin menggila dan tiba-tiba kudengar suara ibu setengah mengerang, “aahh…, oooh…, duuuh…, Suuur…, ibuu…, mau.., mauuu…, sampaiii…, Naak…, oooh”, disertai dengan gerakan pantatnya naik turun secara cepat. Gerakan badannya terhenti dan yang kudengar adalah nafasnya yang menjadi terengah-engah dengan begitu cepatnya dan tangannyapun sudah tidak meremas-remas rambutku lagi, sementara itu jilatan lidahku di vagina ibu hanya kulakukan sekedarnya di bagian bibirnya saja. Dengan nafasnya yang masih memburu itu, tiba-tiba ibu mertuaku bangun dan duduk serta berusaha menarik kepalaku seraya berkata, “Naak Suuur…, ke siniii…, saayaang”, dan tanpa menolak kuikuti saja tarikan tangan ibu, ketika kepalaku sudah di dekat kepalanya, ibu mertuaku langsung saja memelukku seraya berkata dengan suara terputus-putus karena nafasnya yang masih memburu, “Suuur…, Ibu puas dengan apa yang Nak Suuur…, lakukan tadi, terima kasiih…, Naak”. Ibu mertuaku bertubi-tubi mencium wajahku dan kubalas juga ciumannya dengan menciumi wajahnya sambil kukatakan untuk menyenangkan hatinya, “Buuu…, saya sayang Ibuuu…, saya ingin ibu menjadi…, puu..aas”. Setelah nafas ibu sudah kembali normal dan tetap saja masih menciumi seluruh wajahku dan sesekali bibirku, dia berkata, “Naak Suuur…, Ibu masih belum puas sekali…, Suuur…, tolooong puasin ibu sampai benar-benar puaas…, Naak”, seraya kurasakan ibu merenggangkan kedua kakinya. Karena aku masih belum memberikan reaksi atas ucapannya itu, karena tiba-tiba aku terpikir akan istriku dan yang kugeluti ini adalah ibu kandungnya, aku menjadi tersadar ketika ibu bersuara kembali, “Sayaang…, ayooo…, tolooong Ibu dipuasin lagi Suuur, tolong masukkan punyamu yang besar itu ke punya ibu”. “Buuu…, seharusnya saya tidak boleh melakukan ini…, apalagi kepada Ibuu”,sahutku di dekat telinganya. “Suuur…, nggak apa-apa…, Naak…, Ibu yang kepingin, lakukanlah Naak…, lakukan sampai Ibu benar-benar puas Suuur”, katanya dengan suara setengah mengiba. “aahh…, biarlah, kenapa kutolak”, pikirku dan tanpa membuang waktu lagi aku lalu mengambil ancang-ancang dan kupegang penisku serta kuusap-usapkan di belahan bibir vagina ibu mertuaku yang sudah sedikit terbuka. Sambil kucium telinga ibu lalu kubisikkan, “Buuu…, maaf yaa…., saya mau masukkan sekarang, boleh?”. “Suur…, cepat masukkan, Ibu sudah kepingin sekali Naak”, sahutnya seperti tidak sabar lagi dan tanpa menunggu ibu menyelesaikan kalimatnya aku tusukkan penisku ke dalam vaginanya, mungkin entah tusukan penisku terlalu cepat atau karena ibu katanya sudah lama tidak pernah digauli oleh suaminya langsung saja beliau berteriak kecil, “Aduuuh…, Suuur…, pelan-pelan saayaang…, ibu agak sakit niiih”, katanya dengan wajah yang agak meringis mungkin menahan rasa kesakitan. Kuhentikan tusukan penisku di vaginanya, “Maaf Buu…, saya sudah menyakiti Ibu…, maaf ya Bu”. Ibu mertuaku kembali menciumku, “Tidak apa-apa Suuur…, Ibu cuma sakit sedikit saja kok, coba lagi Suur..”, sambil merangkulkan kedua tangannya di pungungku. “Buuu…, saya mau masukkan lagi yaa dan tolong Ibu bilang yaa…, kalau ibu merasa sakit”, sahutku. Tanpa menunggu jawaban ibu segera saja kutusukkan kembali penisku tetapi sekarang kulakukan dengan lebih pelan. Ketika kepala penisku sudah menancap di lubang vaginanya, kulihat ibu sedikit meringis tetapi tidak mengeluarkan keluhan, “Buuu…, sakit.., yaa?”. Ibu hanya menggelengkan kepalanya serta menjawab, “Suuur…, masukkan saja sayaang”, sambil kurasakan kedua tangan ibu menekan punggungku. Aku segera kembali menekan penisku di lubang vaginanya dan sedikit terasa kepala penisku sudah bisa membuka lubang vaginanya, tetapi kembali kulihat wajah ibu meringis menahan sakit. Karena ibu tidak mengeluh maka aku teruskan saja tusukan penisku dan, “Bleess”, penisku mulai membongkar masuk ke liang vaginanya diikuti dengan teriakan kecil, “Aduuuh…, Suuur”, sambil menengkeramkan kedua tangannya di punggungku dan tentu saja gerakan penisku masuk ke dalam vaginanya segera kutahan agar tidak menambah sakit bagi ibu. “Buuu…, sakit yaa..? maaf ya Buuu”. Ibu mertuaku hanya menggelengkan kepalanya. “Enggak kok sayaang…, ibu hanya kaget sedikit saja”, lalu mencium wajahku sambil berucap kembali, “Suuur…, besar betul punyamu itu”. Pelan-pelan kunaik-turunkan pantatku sehingga penisku yang terjepit di dalam vaginanya keluar masuk dan ibupun mulai menggoyang-goyangkan pantatnya pelan-pelan sambil berdesah, “ssshh…, oooh…, aahh…, sayaang…, nikmat…, teruuuskan…, Naak”, katanya seraya mempercepat goyangan pantatnya. Akupun sudah mulai merasakan enaknya vaginan ibu dan kusahut desahannya, “Buuu…, aahh…, punyaa Ibu juga nikmat, buuu”, sambil kuciumi pipinya. Makin lama gerakanku dan ibu semakin cepat dan ibupun semakin sering mendesah, “Aah…, Suuurr…, ooh…, teruus…, Suur”. Ketika sedang nikmat-enaknya menggerakkan penisku keluar masuk vaginanya, ibu menghentikan goyangan pantatnya. Aku tersentak kaget, “Buuu…, kenapa? apa ibu capeeek?”, Ibu hanya menggelengkan kepalanya saja, sambil mencium leherku ibu berucap, “Suuur…, coba hentikan gerakanmu itu sebentar”. “Ada apa Buuu”, sahutku sambil menghentikan goyangan pantatku naik turun. “Suuur…, kamu diam saja dan coba rasakan ini”, kata ibu tanpa menjelaskan apa maksudnya dan tidak kuduga tiba-tiba terasa penisku seperti tersedot dan terhisap di dalam vagina ibu mertuaku, sehingga tanpa sadar aku mengatakan, “Buuu…, aduuuh…, enaak…, Buu…, teruus Bu, oooh…, nikmat Buu”, dan tanpa sadar, aku kembali menggerakkan penisku keluar masuk dengan cepat dan ibupun mulai kembali menggoyangkan pantatnya. “oooh…, aah…, Suuur…, enaak Suuur”, dan nafasnya dan nafaskupun semakin cepat dan tidak terkontrol lagi. Mengetahui nafas Ibu serta goyangan pantat Ibu sudah tidak terkontrol lagi, aku tidak ingin ibu cepat-cepat mencapai orgasmenya, lalu segera saja kuhentikan gerakan pantatku dan kucabut penisku dari dalam vaginanya yang menyebabkan ibu mertuaku protes, “Kenapa…, Suuur…, kok berhenti?”, tapi protes ibu tidak kutanggapi dan aku segera melepaskan diri dari pelukannya lalu bangun. Tanpa bertanya, lalu badan ibu mertuaku kumiringkan ke hadapanku dan kaki kirinya kuangkat serta kuletakkan di pundakku, sedangkan ibu mertuaku hanya mengikuti saja apa yang kulakukan itu. Dengan posisi seperti ini, segera saja kutusukkan kembali penisku masuk ke dalam vagina ibu mertuaku yang sudah sangat basah itu tanpa kesulitan. Ketika seluruh batang penisku sudak masuk semua ke dalam vaginanya, segera saja kutekan badanku kuat-kuat ke badan ibu sehingga ibu mulai berteriak kecil, “Suuur…, aduuuh…, punyamu masuk dalam sekali…, naak…, aduuuh…, teruuus sayaang…, aah”, dan aku meneruskan gerakan keluar masuk penisku dengan kuat. Setiap kali penisku kutekan dengan kuat ke dalam vagina ibu mertuaku, ibu terus saja berdesah, “Ooohh…, aahh…, Suuur…, enaak…, terus, tekan yang kuaat sayaang”. Aku tidak berlama-lama dengan posisi seperti ini. Kembali kehentikan gerakanku dan kucabut penisku dari dalam vaginanya. Kulihat ibu hanya diam saja tanpa protes lagi dan lalu kukatakan pada ibu, “Buuu…, coba ibu tengkurap dan nungging”, kataku sambil kubantu membalikkan badan dan mengatur kaki ibu sewaktu nungging, “Aduuh…, Suuur…, kamu kok macem-macem sih”, komentar Ibu mertuaku. Aku tidak menanggapi komentarnya dan tanpa kuberi aba-aba penisku kutusukkan langsung masuk ke dalam vagina ibu serta kutekan kuat-kuat dengan memegang pinggangnya sehingga ibu berteriak, “Aduuuh Suuur, oooh”, dan tanpa kupedulikan teriakan ibu, langsung saja kukocok penisku keluar masuk vaginanya dengan cepat dan kuat hingga membuat badan ibu tergetar ketika sodokanku menyentuh tubuhnya dan setiap kali kudengar ibu berteriak, “oooh…, oooh…, Suuur”, dan tidak lama kemudian ibu mengeluh lagi, “Suuur…, Ibu capek Naak…, sudaah Suuur…, Ibuu capeeek”, dan tanpa kuduga ibu lalu menjatuhkan dirinya tertidur tengkurap dengan nafasnya yang terengah-engah, sehingga mau tak mau penisku jadi keluar dari vaginanya. Tanpa mempedulikan kata-katanya, segera saja kubalik badan ibu yang jatuh tengkurap. Sekarang sudah tidur telentang lagi, kuangkat kedua kakinya lalu kuletakkan di atas kedua bahuku. Ibu yang kulihat sudah tidak bertenaga itu hanya mengikuti saja apa yang kuperbuat. Segera saja kumasukkan penisku dengan mudah ke dalam vagina ibu mertuaku yang memang sudah semakin basah itu, kutekan dan kutarik kuat sehingga payudaranya yang memang sudah aggak lembek itu terguncang-guncang. Ibu mertuaku nafasnya terdengar sangat cepat, “Suuur…, jangaan…, kuat-kuat Naak…, badan ibu sakit semua”, sambil memegang kedua tanganku yang kuletakkan di samping badannya untuk menahan badanku. Mendengar kata-kata ibu mertuaku, aku menjadi tersadar dan teringat kalau yang ada di hadapanku ini adalah ibu mertuaku sendiri dan segera saja kehentikan gerakan penisku keluar masuk vaginanya serta kuturunkan kedua kaki ibu dari bahuku dan langsung saja kupeluk badan ibu serta kuucapkan, “Maaf…, Buu…, kalau saya menyakiti Ibu, saya akan mencoba untuk pelan-pelan”, segera saja ibu berucap, “Suuur nggak apa-apa Nak, tapi Ibu lebih suka dengan posisi seperti ini saja, ayoo…, Suuur mainkan lagi punyamu agar ibu cepat puaas”. “Iyaa…, Buuu…, saya akan coba lagi”, sahutku sambil kembali kunaik-turunkan pantatku sehingga penisku keluar masuk vagina ibu dan kali ini aku lakukan dengan hati-hati agar tidak menyakiti badan ibu, dan ibu mertuakupun sekarang sudah mulai menggoyangkan pantatnya serta sesekali mempermainkan otot-otot di vaginanya, sehingga kadang-kadang terasa penisku terasa tertahan sewaktu memasuki liang vaginanya. Ketika salah satu payudara ibu kuhisap-hisap puting susunya yang sudah mengeras itu, ibu mertuaku semakin mempercepat goyangan pinggulnya dan terdengar desahannya yang agak keras diantara nafasnya yang sudah mulai memburu, “ooohh…, aahh…, Suuur…, teruuus…, oooh”, seraya meremas-remas rambutku lebih keras. Akupun ikut mempercepat keluar masuknya penisku di dalam vaginanya. Goyangan pinggul ibu mertuakupun semakin cepat dan sepertinya sudah tidak bisa mengontrol dirinya lagi. Disertai nafasnya yang semakin terengah-engah dan kedua tangannya dirangkulkan ke punggungku kuat-kuat, ibu mengatakan dengan terbata-bata, “Nak Suuur…, aduuuh…, Ibuuu…, sudaah…, oooh…, mauuu kelluaar”. Aku sulit bernafas karena punggungku dipeluk dan dicengkeramnya dengan kuat dan kemudian ibu mertuaku menjadi terdiam, hanya nafasnya saja yang kudengar terengah-engah dengan keras dan genjotan penisku keluar masuk vaginanya. Untuk sementara aku hentikan untuk memberikan kesempatan pada ibu menikmati orgasmenya sambil kuciumi wajahnya, “Bagaimana…, Buuu?, mudah-mudahan ibu cukup puas. Ibu mertuaku tetap masih menutup matanya dan tidak segera menjawab pertanyaanku, yang pasti nafas ibu masih memburu tetapi sudah mulai berkurang dibanding sebelumnya. Karena ibu masih diam, aku menjadi sangat kasihan dan kusambung pertanyaanku tadi di dekat telinganya, “Buu…, saya tahu ibu pasti capek sekali, lebih baik ibu istirahat dulu saja.., yaa?”, seraya aku mulai mengangkat pantatku agar penisku bisa keluar dari vagina ibu yang sudah sangat basah itu. Tetapi baru saja pantatku ingin kuangkat, ternyata ibu mertuaku cepat-cepat mencengkeram pinggulku dengan kedua tangannya dan sambil membuka matanya, memandang ke wajahku, “Jangaan…, Suuur…, jangan dilepas punyamu itu, ibu diam saja karena ingin melepaskan lelah sambil menikmati punyamu yang besar itu mengganjal di tempat ibuuu, jangaan dicabut dulu…, yaa…, sayaang”, terus kembali menutup matanya. Mendengar permintaan ibu itu, aku tidak jadi mencabut penisku dari dalam vagina ibu dan kembali kujatuhkan badanku pelan-pelan di atas badan ibu yang nafasnya sekarang sudah kelihatan mulai agak teratur, sambil kukatakan, “Tidaak…, Buuu…, saya tidak akan mencabutnya, saya juga masih kepingin terus seperti ini”, sambil kurangkul leher ibu dengan tangan kananku. Ibu hanya diam saja dengan pernyataanku itu, tetapi tiba-tiba penisku yang sejak tadi kudiamkan di dalam vaginanya terasa seperti dijepit dan tersedot vagina ibu mertuaku, dan tanpa sadar aku mengaduh, “Aduuuh…, oooh…, Buuu”. “Kenapa…, sayaang…, enaak yaa?”, sahut ibu sambil mencium bibirku dengan lembut dan sambil kucium hidungnya kukatakan, “Buuu…, enaak sekaliii”, dan seperti tadi, sewaktu ibu mertuaku mula-mula menjepit dan menyedot penisku dengan vaginanya, secara tidak sengaja aku mulai menggerakkan lagi penisku keluar masuk vaginanya dan ibu mertuakupun kembali mendesah, “oooh…, aah…, Suuur…, teruuus…, naak…, aduuuh…, enaak sekali”. Semakin lama gerakan pinggul ibu semakin cepat dan kembali kudengar nafasnya semakin lama semakin memburu. Gerakan pinggul ibu kuimbangi dengan mempercepat kocokan penisku keluar masuk vaginanya. Makin lama aku sepertinya sudah tidak kuat untuk menahan agar air maniku tetap tidak keluar, “Buuu…, sebentar lagi…, sayaa…, sudaah…, mau keluaar”, sambil kupercepat penisku keluar masuk vaginanya dan mungkin karena mendengar aku sudah mendekati klimaks, ibu mertuakupun semakin mempercepat gerakan pinggulnya serta mempererat cengkeraman tangannya di punggungku seraya berkata, “Suuur…, teruuuss…, Naak…, Ibuuu…, jugaa…, sudah dekat, ooohh…, ayooo Suuur…, semprooot Ibuu dengan airmuu…, sekaraang”. “Iyaa…, Buuu…, tahaan”, sambil kutekan pantatku kuat-kuat dan kami akhiri teriakan itu dengan berpelukan sangat kuat serta tetap kutekan penisku dalam-dalam ke vagina ibu mertuaku. Dalam klimaksnya terasa vagina ibu memijat penisku dengan kuat dan kami terus terdiam dengan nafas terengah-engah. Setelah nafas kami berdua agak teratur, lalu kucabut penisku dari dalam vagina ibu dan kujatuhkan badanku serta kutarik kepala ibu mertuaku dan kuletakkan di dadaku.Setelah nafasku mulai teratur kembali dan kuperhatikan nafas ibupun begitu, aku jadi ingat akan tugas yang diberikan oleh istriku. “Buuu…, apa ini yang menyebabkan ibu selalu marah-marah pada Bapak..?”, tanyaku. “Mungkin saja Suuur…, kenapa Suuur?”, Sahutnya sambil tersenyum dan mencium pipiku. “Buuu…, kalau benar, tolong ibu kurangi marah-marahnya kepada Bapak, kasihan dia”, ibu hanya diam dan seperti berfikir. Setelah diam sebentar lalu kukatakan, “Buuu…, sudah siang lho, seraya kubangunkan tubuh ibu serta kubimbing ke kamar mandi. Setelah peristiwa ini terjadi, ibu seringkali mengunjungi rumah kami dengan alasan kangen cucu dan anaknya Mur, tetapi kenyataannya ibu mertuaku selalu mengontakku melalui telepon di kantor dan meminta jatahnya di suatu motel, sebelum menuju ke rumahku. Untungnya sampai sekarang Istriku tidak curiga, hanya saja dia merasa aneh, karena setiap bulannya ibunya selalu mengunjung rumah kami.